Natal, adalah hari raya gerejawi yang besar
dan meriah, bahkan yang terbesar dirayakan oleh umat Kristen berbanding hari
raya gerejawi lainnya. Sekalipun Alkitab tak mengisahkan perayaan Natal, namun
nyatanya kemegahan perayaannya tak pernah surut. Cobalah bandingkan dengan Jumat
Agung, hari peringatan kematian Yesus Kristus, yang jelas-jelas diperintahkan
Tuhan Yesus sendiri untuk diperingati (1 Korintus 11:24-26). Ternyata gema
Jumat Agung, kalah besar dengan Natal. Padahal, secara teologis jelas sekali
kematian Kristus memiliki makna penebusan dan titik balik kehidupan manusia.
Kematian Yesus Kristus adalah kehidupan manusia yang diperkenan NYA. Makna dan
perintah Tuhan Yesus cukup jelas dan kuat untuk membuat umat Kristen menjadikan
ini peringatan utama. Apalagi peristiwa kematian, diikuti dengan peristiwa
kebangkitan Yesus Kristus, yang kita kenal sebagai Paskah. Mengapa Natal bisa
jadi perayaan gerejawi yang besar, sekaligus pro kontra diseputarnya? Ini
menarik untuk ditelusuri.
25 Desember, sejatinya adalah Natalis Sol
Invictus, yaitu peringatan orang Roma yang kafir (sebelum mengenal Yesus
Kristus). Waktu itu, matahari, yang dianggap tak terkalahkan, muncul dari
kegelapan musim dingin, dan membuat siang menjadi lebih panjang. Para penyembah
dewa matahari, akan melakukan acara khusus dengan penuh kegembiraan sebagai
simbol kekuatan dan kemenangan sang dewa matahari. Sebuah perayaan yang cukup
panjang sebelum menjadi menjadi acara Kristen. Barulah di abad ke 4, ketika
Constantinus Agung menjadi Kristen, terjadi banyak perubahan.
Constantinus Agung, dalam pertempurannya,
dikisahkan melihat Salib digumpalan
awan. Waktu itu 27 Oktober 312. Apa yang dilihatnya memang sangat personal
namun telah menjadi legenda. Dia menjadi seorang Kristen dan mengeluarkan
maklumat toleransi (thn 313), yang berisikan kebebasan beragama. Kristen
sebagai agama, mengalami masa kelegaan setelah sebelumnya terniaya oleh
berbagai kaisar Roma. Diera inilah
Constantinus Agung, mengubah Natalis Sol Invictus yang dirayakan setiap 25
Desember menjadi hari Natal. Sementara hari Minggu, yang telah menjadi hari
ibadah Kristen sejak gereja mula-mula, diresmikan menjadi hari istirahat, atau
hari libur Negara. Ini sangat menolong umat Kristen dalam menjalankan ibadah.
Constantinus Agung memindahkan ibu kota kekaisarannya ke kota Byzantium, yang
kini dikenal sebagai kota Istambul, di Turki. Byzantium menjadi istilah yang
mengacu kepada kekaisaran Roma yang Kristen. Ini untuk membedakannya dengan
Roma yang belum Krsiten.
Nah, kini Natalis atau Natal, yaitu hari
peringatan kelahiran Yesus kristus bagi umat Kristen terus berjalan setiap
tanggal 25 Desember. Gereja sejak masa itu memperingati hari raya gerejawi ini
hingga saat ini. Mengapa gereja menerimanya dan terus menjalankannya? Satu
fakta yang tak terbantah adalah bahwa Yesus Kristus yang adalah Tuhan itu
sendiri (Filipi 2:6-9), memang telah lahir kedalam dunia melalui Maria bunda
kudus. Ini yang pertama. Yang kedua, adalah, bahwa yang tak terkalahkan jelas
adalah Yesus Kristus yang bahkan telah mengalahkan maut. Ini adalah fakta iman
Kristen yang jelas jejaknya didalam Alkitab. Yang ketiga, terang yang
sesungguhnya adalah Yesus Kristus, sebagaimana kesaksian Alkitab. Fakta fakta
Alkitabiah ini cukup untuk menjadi alasan pembaharuan makna pada Natalis
Invictus. Bahwa ada sikap kontra, mengingat Yesus tidak lahir pada bulan
Desember adalah betul. Namun harus dipahami semangat Natal bukanlah
memperingati tanggal kelahiran, melainkan Dia memang lahir didalam dunia. Ini
jelas dua hal yang berbeda. Kerelaan Yesus Kristus Tuhan, datang kedalam dunia,
dan menjadi sama dengan manusia, terlahir sebagai bayi, kerelaan inilah yang
diperingati orang percaya. Jadi Natal bukan hari ulangtahun, jelas tidak.
Bagi yang kontra, sekali lagi betul, Yesus
Kristus tak mungkin lahir pada bulan Desember. Karena injil Lukas dengan jelas
mengisahkan tentang gembala yang ada dipadang Efrata, menggembalakan
domba-dombanya. Dan mereka menjadi tamu utama, saksi kelahiran Yesus Kristus.
Apakah mungkin ada gembala dipadang menggembalakan dombanya dimusim dingin?
Jelas tidak mungkin! Kalaupun mencari kemungkinan terdekat, maka itu sekitar
Maret hingga Juni, musim semi hingga awal musim panas. Dan yang pasti, tidak
ada data tanggal pasti. Tetapi sekali lagi harus diingat ini bukanlah
peringatan hari ulang tahun, melainkan fakta, bahwa Dia pernah terlahir sebagai
manusia biasa. Inilah Natal.
Memperingati Natal, adalah memperingati
kerelaan NYA mengosongkan diri, dan menjadi sama dengan manusia. DIA yang pada
mulanya adalah Allah, dan berdiam bersama Allah, kini telah menjadi manusia,
berinkarnasi, menjadi daging dan darah yang seutuhnya (Yohanes 1:1-3, 14).
Kesadaran ini memang perlu ditumbuhkembangkan pada setiap umat Kristen, agar
tak terjebak pada seremonial pesta akhir tahun. Atau pesta hari ulang tahun,
dengan semangat hura-hura. Natal tak boleh kehilangan penghayatannya, seperti
kental terasa pada lagu malam Kudus. Sebuah perenungan yang serius dan
mendalam. Bahwa gereja perlu merekonstruksi perayaan Natal, adalah hal yang
harus. Karena harus diakui, bahwa kini perayaan Natal terasa hedonis, serba
memuaskan emosi, dan kehilangan jiwanya. Namun itu tidak berarti Natal salah,
sehingga mereka yang kontra berusaha keras melawannya. Karena yang terjadi
sesungguhnya adalah bahwa umat yang merayakanlah yang salah memaknainya. Bukan
hari Natalnya yang salah. Ini perlu jelas. Bahwa yang kontra karena alasan
teologis, masih menanti sang Mesias, itu persoalan lain lagi. Bagi mereka yang
beralasan teologis, jelas bahwa Natal memang tidak ada, tanggal atau bulan
apapun itu. Jadi perlu diluruskan dulu, tentang sikap yang kontra, apakah
alasan historis atau teologis. Dalam kesempatan ini penulis tak hendak
menyentuh ranah teologis kelahiran Yesus Kristus, yang memang terang benderang
dicatat oleh keempat kitab injil, bahkan nubuat di PL.
Namun disisi lain, fakta ini menggugat agar
orang percaya bukan saja menghargai warisan tradisi gerejawi tentang Natal,
melainkan setia pada makna dan penghayatannya. Dari masa kemasa, Natal terus
menerus mengalami modifikasi dalam suasananya, hingga mengancam kehilangan
maknanya. Teknologi dan industri telah menjebak Natal menjadi komoditi, dan
ironisnya, tak sedikit gereja mengamininya. Ini tampak jelas pada perayaan
Natal yang megah, namun tak jelas pesan Natalnya. Dalam kebanyakan perayaan
Natal, khotbah bisa jadi pelengkap penderita. Pusat perhatian terfokus pada
acara dan teknologi yang digunakan. Disini performance menjadi utama, bukan
lagi sikap hati. Pelayan yang diperlukan adalah mereka yang berkemampuan
teknis, dan tak terlalu penting soal apakah mereka sudah lahir baru atau belum.
Atau bahkan Kristen atau bukan. Ini sebuah kenyataan yang menjadi tantangan
serius bagi gereja.
Natal,
kini menjadi medan tarik menarik antara penghayatan dan hiburan, antara pesan
dan teknologi, antara pelayanan dan performance. Semua serba dibenturkan,
seakan tak ada kemampuan untuk melahirkan pelayan yang berkemampuan dan berhati
melayani. Kualitas pelayan seringkali dikalahkan oleh kemampuan performance.
Semoga gereja bisa lepas dari jebakan ini. Dan selamat mempersiapkan perayaan
hari Natal. Atau anda sudah terjebak disana? Ah, kalau begitu, selamat
merenungkan dulu.
0 comments:
Post a Comment