Pak Pendeta... Saya tergelitik mendengar khotbah kesaksian seorang hamba Tuhan tentang masa lalunya yang jauh dari Tuhan. Selain kejam terhadap istri, dia dulu bekerja di tem
Untuk menyelamatkan sang istri, dokter harus “mengorbankan” jabang bayi yang baru berusia delapan bulan. Menghadapi kenyataan sulit ini, sang suami memohon pada Tuhan agar menyelamatkan istri dan bayinya itu. Dia berjanji akan sungguh-sungguh ikut Tuhan jika istri dan bayinya itu diselamatkan. Singkat kata, doanya memang terkabul, istri dan anaknya selamat. Keluarganya dipulihkan menjadi rukun damai. Sang suami menjadi hamba Tuhan.
Pertanyaan saya, apakah kita berhak melakukan “tawar-menawar” dengan Tuhan, seperti dilakukan hamba Tuhan tersebut? Artinya, andaikata permohonannya tidak dikabulkan Tuhan, jalan hidupnya tentu lain. Bukankah kita harus siap menerima apa pun kehendak Tuhan, bukan malah melakukan tawar-menawar dengan-Nya?
Melky Pamatar
Jl Pemuda, Rawamangun
Jakarta Timur
Nah, sementara tawar-menawar itu berarti selevel, sebuah posisi sejajar. Masak iya, Allah dan ma-nusia sejajar sehingga bisa terlibat tawar-menawar. Di sisi lain, apakah Allah sudah tidak lagi mahatahu, sehingga harus memperhatikan dan memperhitungkan tawaran manusia. Memang ada indikasi se-perti itu di Perjanjian Lama (PL), namun harus dibaca dengan teliti. Mari kita lihat “tawar-menawar “ antara Allah dengan Abraham, da-lam Kejadian 18. Pasal ini seringkali diterjemahkan oleh banyak oknum sebagai tawar-menawar. Jika kita baca sekilas, memang tampak ke-san tawar-menawar di mana Abra-ham menawar dari 50 hingga 10 orang benar, apakah Allah masih akan memusnahkan Sodom dan Gomora. Dan, tampaknya Tuhan “memenuhi tawaran” Abraham, dan setuju jika ada 10 orang benar maka Sodom dan Gomora akan diselamatkan.
0 comments:
Post a Comment