Gereja dan keluarga, adalah kata yang cukup samar dalam perbedaan. Sekilas memang tampak sangat berbeda, namun jika ditelusuri pemaknaannya secara mendalam maka, perbedaan itu menciut, bahkan tampak jelas sinergi yang ada di dalamnya. Gereja harus dimengerti dalam berbagai dimensi. Yang pertama, tentu saja gereja sebagai gedung yang tampak kasat mata. Hadir dalam berbagai keunikan dan keindahan arsitektur, namun tetap saja hanya sebuah gedung. Gedung yang memiliki harga secara materi, namun saat bersamaan bisa jadi hanya gedung bisu tanpa makna. Atau, malah titik kericuhan yang cukup mengganggu dan membingungkan umat. Lebih ke dalam, maka anda akan menemukan apa yang disebut organisasi.
Ini juga bisa dilihat dan dinilai dari struktur dan job descriptionnya. Apakah organisasi gereja lebih bernuansa komando, kerjasama atau malah kerja sendiri, tampak jelas disini. Nah, semakin ke dalam maka di sanalah inti dari gereja, yaitu anda dan saya. Kita yang terikat menjadi satu, yaitu satu sebagai tubuh Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Persekutuan kita sebagai orang percayalah kesejatiaan gereja. Gedung dan organisasi ada untuk kita, bukan sebaliknya. Yang terpenting adalah kita bukan yang lainnya. Sangat jelas bukan, makna sejati sebuah gereja, yaitu kita.
Lalu keluarga. Apa yang kebanyakan dipahami tentang keluarga adalah ikatan pernikahan dua orang, yang sepakat menjadi suami dan istri. Pernikahan menjadikan mereka keluarga, dan berlanjut menjadi besar dengan kehadiran anak dan cucu tentunya. Pasangan yang disatukan dalam pernikahan, dalam konteks umum bisa mengakhiri pernikahnnya, jika muncul ketidakcocokan diantara mereka. Ada ribuan argumentasi yang membuat mereka tidak cocok. Nah, dalam konteks keimanan, maka sebagai umat Kristen perceraian tak memiliki ruang. Yang dipersatukan sebagai keluarga, hanya terpisahkan oleh kematiaan, itulah nilai sejatinya. Keluarga dalam konteks Kristen bukan saja indah tapi bernilai abadi. Ini bukan mimpi, tapi panggilan bagi setiap orang percaya. Ada banyak kendala dalam keluarga, namun itu hanyalah bagian dari sebuah seni kehidupan. Itu sebab, semangat melayani dan menyatu harus mewarnai kehidupan keluarga Kristen. Lalu, bagaimana hubungan gereja dengan keluarga? Sangat jelas, terintegrasi dan tak mungkin terurai.
Jika dua pribadi menyatu menjadi satu keluarga, bukankah itu berarti gereja adalah menyatunya berbagai keluarga. Penyatuan umat (baca: Keluarga) sebagai tubuh Kristus sangat indah bukan? Seharusnyalah gereja dan keluarga saling mengisi, melengkapi, dan berani mengikat diri. Sehingga kehadiran gereja dan keluarga adalah kehadiran bersama, bukan saling menanti, apalagi saling menggugat.
Gereja dipanggil untuk menyuarakan kebenaran dan menggembalakan umat ke jalan yang benar. Untuk itu gereja dituntut mengadakan bukan saja kebaktian Minggu, dan hari raya besar lainnya. Gereja juga dituntut mengadakan pembinaan berkala dan berkesinambungan pada tiap komponen keluarga, seperti: Pasutri, Anak dalam jenjang usia, dan Orangtua lanjut usia. Semua yang dibina dan terbina inilah yang berkumpul bersama dihari Minggu sebagai ibadah raya. Namun, jangan lupa, di sisi lain, keluarga juga dituntut untuk siap memberi kontribusi kepada gereja. Bukan kontribusi materi, karena itu letaknya paling akhir. Yang paling penting justru kontribusinya sebagai gereja individu. Ini yang terpenting dari kehadiran umat, tapi justru sering terabaikan. Kehadiran umat seringkali identik dengan besaran jumlah kolekte. Dan, ini membentuk strata tersendiri dalam gereja yang seharusnya sama sebagai umat. Gereja tak lagi utuh dalam kebersamaan.
Kebersamaan yang ada tampak semu, hanya kehadiran fisik saja, namun tidak bagi hatinya. Ini menjadi bahaya laten bagi gereja. Karena terbiasa, maka kesalahan ini bisa jadi dianggap lumrah, bahkan sudah seharusnya. Situasi yang mirip ternyata juga terjadi di dalam keluarga sebagai gereja internal. Di dalam keluarga ternyata muncul kelas-kelas tertentu, yaitu anak mas, anak kebanggaan, dan ada anak yang justru merasa terisolasi dalam keluarga sendiri. Ironi bukan, gereja dan keluarga yang adalah gereja utama, terperangkap dalam jebakan nilai duniawi. Untuk itu keluarga juga digugat untuk mampu menjadi model yang benar, sebagai keluarga Kristen.
Keluarga seharusnya mampu hidup sesuai dengan aturan dan ketentuan Alkitab yaitu, sebagai pelita, penuntun, dan pemimpin keluarga. Tiap anggota keluarga hendaknya memberi kontribusi yang utuh bagi keluarganya, baik sebagai suami, istri, anak, sehingga mereka saling melengkapi dan bukan meniadakan. Keluarga semakin menyatu karena saling mengasihi dan bukan menyakiti. Bayangkan sebuah keutuhan yang manis bukan. Keluarga yang harmonis datang ke gedung gereja, masuk dalam organisasi gereja, beribadah sebagai gereja, maka keluarga telah memberi kontribusi yang terpenting. Keluarga bisa menjadi inspirasi bagi keluarga lain, bahkan berinteraksi langsung dan menjadi berkat besar. Dengan kehadiran keluarga yang harmonis, gereja semakin manis. Di posisi ini, gereja akan semakin diminati, karena nyata, dan terbantah, dalam kehadirannya yang sangat bermakna. Gereja tak terjebak pada sekedar dogma, retorika atau sekedar aksi sosial belaka, tapi sebuah keutuhan yang saling melengkapi. Jadi, kehadiran keluarga bisa memperkokoh eksistensi gereja. Namun, di sisi lain, bagi keluarga yang bermasalah, gereja hadir menolong mereka, memberikan solusi bukan sekedar janji, memberi cara bukan sekedar doa. Memberi konseling yang lengkap, komprehensip, dan bertanggungjawab. Sementara keluarga lain yang harmonis bisa menjadi model dan partner ideal bagi mereka. Jadi gereja dan keluarga adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Sungguh sebuah kesalahan fatal jika keluarga menjauhkan diri dari ibadah gereja.
Menjauh dari ibadah gereja adalah sebuah penyangkalan terhadap hakekat keluarga dan gereja. Ketidakcocokan dalam organisasi hanyalah sebuah selera, jika terbilang parah, gereja yang lain juga adalah gereja. Tapi yang pasti, tak pergi ke gereja karena sesuatu dan lain hal yang prinsip, anda bisa pergi ke gereja yang lainnya, dimana anda bisa bertumbuh dengan benar. Ingat gereja dan keluarga tak terpisahkan. Gereja tidak akan pernah ada secara utuh tanpa keluarga, sebaliknya keluarga juga tak akan pernah utuh tanpa gereja. Dan, di dalam keduanya, gereja dan keluarga hanya ada satu kepala, yaitu Yesus Kristus Tuhan. Karena kenyataan ini, maka tiap keluarga Kristen seharusnya mampu membangun kebahagiaan dalam keluarga, dan menggapai masa depan yang menjanjikan dan penuh kemenangan.
Ayah sebagai iman dalam keluarga harus memainkan peran maksimal, dan, tak boleh, tak berhak, untuk membuat barisan alasan kesibukan kerja sebagai pemicu tak bisa memainkan peran sebagai imam, sebagai pemimpin di dalam rumah. Sementara istri dipanggil agar sungguh-sungguh menolong dengan mengingatkan suami akan perannya. Istri juga harus memainkan peran maksimal sebagai penolong dan bukan perongrong. Jika suami dan istri terjebak dalam adu-debat soal kesibukan dan pressure yang dialami, maka, hampir pasti keluarga ada dalam bahaya, dan anak-anak hanya akan menjadi generasi frustasi. Bukankah anda cinta keluarga? Bukankah anda memiliki jutaan mimpi indah tentang keluarga? Mimpi tentang anda sebagai suami dan istri. Waktu bertemu pertama kali, dan kini, seharusnya mimpi itu semakin lengkap. Awas, jangan mimpi itu sampai tinggal kenangan belaka. Mimpi tentang anak-anak, agar kelak memiliki keluarga yang harmonis, dan anda menjadi opa dan oma yang berbahagia. Wujudkan mimpi itu!. Dalam kebersamaan keluarga sebagai suami istri, dan berpartnerlah dengan gereja sepenuhnya. Maka mulailah dengan kesadaran sebagai keluarga. Kita tak mungkin tidak saling membutuhkan di dalam rumah, dan juga tidak mungkin terpisah dari gereja, Atau memang anda telah membuat keputusan untuk hidup kacau di masa mendatang.
Selamat memilih, semoga anda memilih dengan tepat dan bijak, dan akhirnya tentu saja selamat berbahagia. (Baca lengkap Efesus 5:22 - 6:4)
Pdt. Bigman Sirait
Ini juga bisa dilihat dan dinilai dari struktur dan job descriptionnya. Apakah organisasi gereja lebih bernuansa komando, kerjasama atau malah kerja sendiri, tampak jelas disini. Nah, semakin ke dalam maka di sanalah inti dari gereja, yaitu anda dan saya. Kita yang terikat menjadi satu, yaitu satu sebagai tubuh Kristus di dalam kematian dan kebangkitan-Nya. Persekutuan kita sebagai orang percayalah kesejatiaan gereja. Gedung dan organisasi ada untuk kita, bukan sebaliknya. Yang terpenting adalah kita bukan yang lainnya. Sangat jelas bukan, makna sejati sebuah gereja, yaitu kita.
Lalu keluarga. Apa yang kebanyakan dipahami tentang keluarga adalah ikatan pernikahan dua orang, yang sepakat menjadi suami dan istri. Pernikahan menjadikan mereka keluarga, dan berlanjut menjadi besar dengan kehadiran anak dan cucu tentunya. Pasangan yang disatukan dalam pernikahan, dalam konteks umum bisa mengakhiri pernikahnnya, jika muncul ketidakcocokan diantara mereka. Ada ribuan argumentasi yang membuat mereka tidak cocok. Nah, dalam konteks keimanan, maka sebagai umat Kristen perceraian tak memiliki ruang. Yang dipersatukan sebagai keluarga, hanya terpisahkan oleh kematiaan, itulah nilai sejatinya. Keluarga dalam konteks Kristen bukan saja indah tapi bernilai abadi. Ini bukan mimpi, tapi panggilan bagi setiap orang percaya. Ada banyak kendala dalam keluarga, namun itu hanyalah bagian dari sebuah seni kehidupan. Itu sebab, semangat melayani dan menyatu harus mewarnai kehidupan keluarga Kristen. Lalu, bagaimana hubungan gereja dengan keluarga? Sangat jelas, terintegrasi dan tak mungkin terurai.
Jika dua pribadi menyatu menjadi satu keluarga, bukankah itu berarti gereja adalah menyatunya berbagai keluarga. Penyatuan umat (baca: Keluarga) sebagai tubuh Kristus sangat indah bukan? Seharusnyalah gereja dan keluarga saling mengisi, melengkapi, dan berani mengikat diri. Sehingga kehadiran gereja dan keluarga adalah kehadiran bersama, bukan saling menanti, apalagi saling menggugat.
Gereja dipanggil untuk menyuarakan kebenaran dan menggembalakan umat ke jalan yang benar. Untuk itu gereja dituntut mengadakan bukan saja kebaktian Minggu, dan hari raya besar lainnya. Gereja juga dituntut mengadakan pembinaan berkala dan berkesinambungan pada tiap komponen keluarga, seperti: Pasutri, Anak dalam jenjang usia, dan Orangtua lanjut usia. Semua yang dibina dan terbina inilah yang berkumpul bersama dihari Minggu sebagai ibadah raya. Namun, jangan lupa, di sisi lain, keluarga juga dituntut untuk siap memberi kontribusi kepada gereja. Bukan kontribusi materi, karena itu letaknya paling akhir. Yang paling penting justru kontribusinya sebagai gereja individu. Ini yang terpenting dari kehadiran umat, tapi justru sering terabaikan. Kehadiran umat seringkali identik dengan besaran jumlah kolekte. Dan, ini membentuk strata tersendiri dalam gereja yang seharusnya sama sebagai umat. Gereja tak lagi utuh dalam kebersamaan.
Kebersamaan yang ada tampak semu, hanya kehadiran fisik saja, namun tidak bagi hatinya. Ini menjadi bahaya laten bagi gereja. Karena terbiasa, maka kesalahan ini bisa jadi dianggap lumrah, bahkan sudah seharusnya. Situasi yang mirip ternyata juga terjadi di dalam keluarga sebagai gereja internal. Di dalam keluarga ternyata muncul kelas-kelas tertentu, yaitu anak mas, anak kebanggaan, dan ada anak yang justru merasa terisolasi dalam keluarga sendiri. Ironi bukan, gereja dan keluarga yang adalah gereja utama, terperangkap dalam jebakan nilai duniawi. Untuk itu keluarga juga digugat untuk mampu menjadi model yang benar, sebagai keluarga Kristen.
Keluarga seharusnya mampu hidup sesuai dengan aturan dan ketentuan Alkitab yaitu, sebagai pelita, penuntun, dan pemimpin keluarga. Tiap anggota keluarga hendaknya memberi kontribusi yang utuh bagi keluarganya, baik sebagai suami, istri, anak, sehingga mereka saling melengkapi dan bukan meniadakan. Keluarga semakin menyatu karena saling mengasihi dan bukan menyakiti. Bayangkan sebuah keutuhan yang manis bukan. Keluarga yang harmonis datang ke gedung gereja, masuk dalam organisasi gereja, beribadah sebagai gereja, maka keluarga telah memberi kontribusi yang terpenting. Keluarga bisa menjadi inspirasi bagi keluarga lain, bahkan berinteraksi langsung dan menjadi berkat besar. Dengan kehadiran keluarga yang harmonis, gereja semakin manis. Di posisi ini, gereja akan semakin diminati, karena nyata, dan terbantah, dalam kehadirannya yang sangat bermakna. Gereja tak terjebak pada sekedar dogma, retorika atau sekedar aksi sosial belaka, tapi sebuah keutuhan yang saling melengkapi. Jadi, kehadiran keluarga bisa memperkokoh eksistensi gereja. Namun, di sisi lain, bagi keluarga yang bermasalah, gereja hadir menolong mereka, memberikan solusi bukan sekedar janji, memberi cara bukan sekedar doa. Memberi konseling yang lengkap, komprehensip, dan bertanggungjawab. Sementara keluarga lain yang harmonis bisa menjadi model dan partner ideal bagi mereka. Jadi gereja dan keluarga adalah kesatuan yang tak terpisahkan. Sungguh sebuah kesalahan fatal jika keluarga menjauhkan diri dari ibadah gereja.
Menjauh dari ibadah gereja adalah sebuah penyangkalan terhadap hakekat keluarga dan gereja. Ketidakcocokan dalam organisasi hanyalah sebuah selera, jika terbilang parah, gereja yang lain juga adalah gereja. Tapi yang pasti, tak pergi ke gereja karena sesuatu dan lain hal yang prinsip, anda bisa pergi ke gereja yang lainnya, dimana anda bisa bertumbuh dengan benar. Ingat gereja dan keluarga tak terpisahkan. Gereja tidak akan pernah ada secara utuh tanpa keluarga, sebaliknya keluarga juga tak akan pernah utuh tanpa gereja. Dan, di dalam keduanya, gereja dan keluarga hanya ada satu kepala, yaitu Yesus Kristus Tuhan. Karena kenyataan ini, maka tiap keluarga Kristen seharusnya mampu membangun kebahagiaan dalam keluarga, dan menggapai masa depan yang menjanjikan dan penuh kemenangan.
Ayah sebagai iman dalam keluarga harus memainkan peran maksimal, dan, tak boleh, tak berhak, untuk membuat barisan alasan kesibukan kerja sebagai pemicu tak bisa memainkan peran sebagai imam, sebagai pemimpin di dalam rumah. Sementara istri dipanggil agar sungguh-sungguh menolong dengan mengingatkan suami akan perannya. Istri juga harus memainkan peran maksimal sebagai penolong dan bukan perongrong. Jika suami dan istri terjebak dalam adu-debat soal kesibukan dan pressure yang dialami, maka, hampir pasti keluarga ada dalam bahaya, dan anak-anak hanya akan menjadi generasi frustasi. Bukankah anda cinta keluarga? Bukankah anda memiliki jutaan mimpi indah tentang keluarga? Mimpi tentang anda sebagai suami dan istri. Waktu bertemu pertama kali, dan kini, seharusnya mimpi itu semakin lengkap. Awas, jangan mimpi itu sampai tinggal kenangan belaka. Mimpi tentang anak-anak, agar kelak memiliki keluarga yang harmonis, dan anda menjadi opa dan oma yang berbahagia. Wujudkan mimpi itu!. Dalam kebersamaan keluarga sebagai suami istri, dan berpartnerlah dengan gereja sepenuhnya. Maka mulailah dengan kesadaran sebagai keluarga. Kita tak mungkin tidak saling membutuhkan di dalam rumah, dan juga tidak mungkin terpisah dari gereja, Atau memang anda telah membuat keputusan untuk hidup kacau di masa mendatang.
Selamat memilih, semoga anda memilih dengan tepat dan bijak, dan akhirnya tentu saja selamat berbahagia. (Baca lengkap Efesus 5:22 - 6:4)
Pdt. Bigman Sirait
0 comments:
Post a Comment