Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Thursday, October 1, 2009

Nikmatnya Keterbatasan

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

KATA “terbatas”, sering kali dianggap momok. Pembatasan, yang berarti pengekangan, juga berarti serba tak boleh semua. Kalaupun boleh, hanya separuh. Di era, di mana kebebasan dianggap dewa oleh para pemujanya, maka keterbatasan sangat tidak mendapat tempat, bahkan di kehidupan banyak umat Kristen. Bayangkan saja, ketika Tuhan Yesus membatasi ruang gerak kita yang dulu terasa bebas. DIA berkata, “Kamu dulu mendengar firman; mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi AKU berkata kepadamu: janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu berilah juga kepadanya pipi kirimu (Matius 5: 38-39).
Sekali lagi, bayangkan, ketika mata ganti mata, terasa begitu bebas bagi kita untuk melampiaskan pembalasan yang berimbang, dan mampu memenuhi tuntutan amuk amarah. Segera kelegaan tiba, begitu amarah tumpah ruah, tanpa batas, memuaskan rasa. Ya, sebuah kebebasan mengekspresikan rasa amarah. Jadi, sungguh tidak menyenangkan jika Yesus berkata, “Jangan melawan orang yang jahat padamu”. Orang jahat seakan memiliki ruang luas untuk mengumbar nafsunya, sementara orang baik seperti dikurung oleh tembok kesabaran, menahan diri, tak boleh bereaksi.
Di sisi lain, orang jahat, secara jumlah jauh lebih banyak dibanding orang baik. Dan, kecenderungan berbuat jahat, jauh lebih mudah, baik jenis perbuatan maupun menemukan pelakunya. Amuk amarah, memaki, bahkan membunuh, dalam keyakinan agama yang radikal, bahkan seringkali dianggap benar, terpuji, dan suci, dan tentu saja jauh dari sosok buruk, apalagi jahat. Lagi lagi, kenyataan ini semakin memberikan gambaran betapa luasnya ruang kejahatan, termasuk yang berbaju keagamaan, yang katanya untuk surga, sekalipun tak jelas surga mana yang doyan kekerasan.
Lalu, keterbatasan, di mana nikmatnya? Pertanyaan yang bisa sinis, karena sepertinya tak mungkin ada rasa yang bernama nikmat di ruang yang terbatas, dan sangat membatasi. Nikmat, hanya ada di ruang bebas, dalam kebebasan mengekspresikan perasaan, tanpa batas. Inilah keyakinan manusia masa kini, yang beroposisi tajam dengan ajaran Yesus Kristus Tuhan. Ajaran kasih Kristus, seringkali dianggap sebagai kekonyolan, bahkan kebodohan yang tidak terbayangkan. Ajaran kasih, yang dinilai segera bisa memunculkan ketidaktertiban karena bisa jadi semaunya, dan tidak ada rasa takut, atau tanggungjawab. Apakah betul?
Lihat penjara, sebagai lembaga permasyarakatan yang dikenal penuh dengan disiplin dan kekerasan, ternyata, tak terbukti ampuh sebagai pusat pembinaan mental, apalagi moral. Tapi yang pasti, ajaran kasih Kristus telah mengubah wajah dunia dan memberi harapan baru. Paling tidak sentuhan kasih seorang Mother Teresa, di Calculta India, telah memberi citra manis pelayanan kepedulian seorang kristiani. Mengubah kemarahan dalam atmosfir keagamaan, yang merasa terancam menjadi persahabatan yang penuh keteduhan. Kasih adalah kekuatan yang tidak terbatas dalam kerelaan membatasi kebebasan diri. Sebuah paradoks penting yang harus disadari utuh.
Nah, kembali kepada nikmat di keterbatasan. Harus dipahami bahwa “terbatas” tidak sama dengan “tidak berdaya”, bahkan sebaliknya sangat berdaya, dan penuh karya. Karena dengan membatasi diri, kemampuan membalas (dendam) dapat dipinggirkan, potensi ambisi dapat dikendalikan, dan tentu saja ini akan menciptakan perdamaian. Rasa kekeluargaan yang memberi kebahagiaan. Menyadari keterbatasan, membuat seseorang menjadi sadar diri, tak lagi tinggi hati, apalagi merasa paling besar. Namun sadar diri, bukan berarti rendah diri. Bukankah itu berarti kerelaan hidup bersama dan berbagi, tanpa rasa ingin memperdayai, apalagi menguasai satu dengan lainnya? Tak tersisa kejumawaan di sana, tapi selalu ada keberanian untuk menerima sekaligus menghargai perbedaan yang ada.
Menyadari keterbatasan, juga berarti membuat seseorang dapat rela menerima realita apa saja, tanpa terjebak pada sikap fatalistik yang salah. Tergantung nasib, istilah tenarnya. Dia berusaha keras namun pasrah pada realita dalam pimpinan Allah. Maka hidup akan dinikmati dengan rasa syukur, puas. Tak pernah terlintas di pikiran untuk memperkaya diri dengan memiskinkan orang lain. Jauh dari korupsi, dan sikap serakah. Menyadari keterbatasan, memberi ketenangan dan kemampuan untuk menerima lingkungan apa adanya, dan mudah memaklumi tiap perbedaan yang muncul ke permukaan karena kenyataan kepelbagaian.read more...
Ditulis untuk Tabloid Reformata/www.reformata.com

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer