PERCAYA atau tidak, sejak jaman Yesus melayani, bahkan di era Perjanjian Lama (PL), perilaku berbakti demi roti ternyata telah lama bersemi. Pelayanan Yesus selalu ramai dengan orang-orang dari berbagai kelas, juga berbagai motivasi. Dengan mudah kita menemukan Yesus yang melayani kelas bawah, namun DIA tak kagok di lingkungan elit. Melayani tanpa pernah terjebak motivasi yang salah, membedakan pelayanan berdasarkan kelas tertentu. Yesus yang melayani dalam kebenaran yang utuh, tak pernah sungkan menghardik, bahkan mencela siapa saja yang berlaku salah. Bahkan ahli Taurat disebutnya si pemimpin buta, yang penuh dengan perilaku tercela. Orang kaya disindirnya sebagai manusia yang terikat dengan harta, juga susah masuk surga.
Tapi, tunggu dulu, tak sedikit orang miskin juga dicela karena memiliki motivasi yang salah. Hal itu tampak nyata ketika kebanyakan dari mereka datang beribadah ternyata untuk mencari roti. Dalam Yohanes 6:1-15 dikisahkan, ketika Yesus melakukan mukjizat dalam pelayanan di tepi Danau Tiberias. Ada banyak orang yang datang karena melihat mukjizat-mukjizat penyembuhan yang telah dilakukan Yesus. Menarik, catatan Yohanes, orang banyak rela berdesak karena mukjizat, bukan karena haus akan kebenaran berita Injil. Jadi, tidaklah mengherankan ketika mereka dikritik oleh Yesus Kristus sebagai pencinta roti belaka, bukan pencinta kebenaran (Yohanes 6: 26). Mereka tak melihat mukjizat sebagai tanda kehadiran dan penyertaan Allah, melainkan sebagai pemuas diri semata. Kesembuhan dilihat sebagai “saya telah sembuh”, bukan “Yesus hadir di hidup saya”.
Kalimat-kalimat yang terucap “terimaksih Yesus, Allah maha kuasa”, tak lebih karena mengalami mukjizat, namun tak kuat ketika badai kehidupan bertiup. Semua orang getol untuk melihat mukjizat dalam sebuah kebaktian, namun tak tampak dalam mencari kebenaran. Semua berdiskusi tentang cara, penampakan, dan model mukjizat, namun tak pernah mendalami apa yang menjadi kehendak Allah yang sesungguhnya. Orang banyak datang ke kebaktian kebangunan rohani (KKR), bagai hendak menonton konser mukjizat. Semua seperti tertipu dengan fakta, betapa gembala tak seperti gembala, tapi lebih pas bagai selebritis kelas atas. Buah hidup, sebagaimana yang digugat Yesus sebagai bukti pengenalan akan pohon, diabaikan. Kekristenan bagai arena demonstrasi “adu hebat mukjizat”, layaknya dunia perdukunan di dunia kebatinan. Dan, gong bersambut karena ternyata orang banyak memang mau itu. Orang banyak yang mengikut Yesus karena telah makan roti, tentu saja berharap akan makan roti, dan, makan roti lagi. Banyak yang datang bukan karena kebenaran tapi karena mukjizat roti. Dan, ikut Yesus disamakan dengan dapat roti.
Tragis. Tapi itulah kenyataannya. Yesus sendiri telah menelanjanginya. Namun yang lebih ironis, ternyata umat tak pernah belajar. Tua, muda, pria, wanita, kaya, miskin, semua tampak sama, terjebak lagi dalam konstelasi berbakti demi roti. Banyak orang datang berbakti ke tempat yang ada roti, tapi tak rela pergi ke ibadah yang menggugah, yang menggali kebenaran secara utuh. Yang menyediakan roti dengan alasan belas kasihan dan kepedulian pelayanan, sementara yang datang dengan motivasi demi perut agar terisi. Ada roti, kebaktian penuh. Tak ada roti, segera sepi. Mereka berpindah bagaikan hunter tulen, berburu roti dari satu persekutuan ke persekutuan lainnya. Maksud baik menolong, dengan menyediakan roti, malah menjadi ajang pengguguran kesejatian iman.
Hmm, betapa pentingnya sikap kritis, dan perhitungan melakukan aksi kasih, agar tak salah arah, atau, malah mencipta yang salah. Maksud baik saja tak cukup. Lihatlah Yesus Kristus, Tuhan sumber baik, yang mahabaik itu, DIA tetap mengkritisi sikap iman tiap orang, tak peduli apa atau bagaimana posisi strata ekonominya. Yesus kritis, itu adalah kesejatian iman yang teruji. Yesus tegas, itu adalah keunggulan iman yang tangguh. Tak ada motivasi yang tersembunyi, dan memang tak boleh ada. Roti memang perlu, namun bukan yang utama. Di sisi lain, tak kurang penggemar “mukjizat” lainnya. Mereka selalu riuh rendah, dan rela merogoh kocek dan berdesakan untuk menghadari kebaktian demonstrasi mukjizat. Tak jelas, apakah mereka membaca Kitab Suci, membaca kritik Yesus sendiri. Mobilisasi ratusan, bahkan ribuan orang, yang menghabiskan dana yang tak kecil sering terjadi, hanya untuk sebuah kebaktian yang mendemonstrasikan mukjizat. Sungguh berbeda dengan sikap Yesus yang mengkritik mereka yang datang berbondong-bondong untuk mukjizat, maka ini, alih-alih mengkritik, para pengkhotbah malah senang. Alasan mereka toleransi, atas nama iman yang masih bayi, sekalipun yang datang orang Kristen yang sudah tahunan. Dan, sesudah itu juga tak ada follow up, alias pemuridan, kecuali follow me, alias pengikut.read more...
Ditulis untuk Tabloid Reformata/www.reformata.com
Thursday, October 1, 2009
BERBAKTI DEMI ROTI
Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================
0 comments:
Post a Comment