Sudah berlangganan artikel blog ini via RSS Feed?

Thursday, October 1, 2009

Kebebasan di Dalam Kematian

Situs Alternatif Download Khotbah
===============================================================

JUDUL ini bukanlah judul keputusasaan, atau ketidakmampuan untuk menikmati hidup, melainkan sebuah judul yang sangat realistis, yang terinspirasi dari kitab Pengkhotbah. Kitab yang memuat banyak kata “sia-sia” ini, seringkali disalah mengerti sebagai kitab yang pesimis. “Negative thinking,” kata penggemar kata positive thingking. Padahal, kitab ini sangat realistis dan selalu aktual.
Dalam Pengkhotbah 4: 2 dikatakan, “Oleh sebab itu aku menganggap orang-orang mati, yang sudah lama meninggal, lebih bahagia daripada orang orang hidup yang sekarang masih hidup”. Di ayat 1, Pengkhotbah melukiskan kehidupan dalam dua sisi, yaitu, penindas dan yang ditindas. Pada yang ditindas tak ada penghiburan, namun itu tidak berarti sang penindas penuh kesukaan dan bebas dari kegelisahan. Suasana itu segera terlihat pada ayat 2, di mana Pengkhotbah mengatakan, “bahwa kematian ternyata lebih baik dari kehidupan”. Artinya, baik penindas maupun yang ditindas, sama “merindukan” kematian. Yang ditindas memang mengalami kesakitan, namun yang menindas juga memiliki ketakutan terhadap kemungkinan perlawanan dari yang ditindas.
Posisi hanyalah sebuah perbedaan semu, namun ketakutan mewarnai semuanya. Tak satu pun manusia di muka bumi ini yang bebas dari rasa takut. Semua manusia sama dilanda rasa takut, sedih, kecewa dan tertekan. Suasana hidup bagaikan babak demi babak berbeda yang harus dimainkan. Dan peran, tidak bisa dipilih sesuai selera sendiri. Jika babak kemiskinan yang diperankan, maka kelaparan jadi bagian yang dijalani. Sebaliknya, jika peran kaya yang dimainkan, maka stres, sebagai konsekuensi, datang tak terhindarkan. Sekali lagi, itu berarti, tiap peran yang berbeda kontras, sama memiliki risiko yang menakutkan.
Jika demikian, apa keunggulan kehidupan? Pengkhotbah dengan tegas mengatakan kesia-siaan. Ya, sia-sia, karena apa pun posisinya sama kepahitannya. Jika demikian untuk apa hidup? Pengkhotbah, dengan segera menjelaskan, tak ada yang bisa diharapkan. Karena pada akhirnya, setiap manusia membutuhkan kebahagiaan yang tidak pernah bisa dipenuhinya. Merindukan ketenangan yang tidak pernah seutuhnya didapatkan. Manusia coba berjuang, namun termakan waktu, dan, ujungnya hanyalah kematian. Entah kapan perjuangan dimulai, dan diakhiri, tapi yang pasti, tak terasa maut mendekati, dan sekejap, sepertinya sangat singkat, semua berakhir.
Jika demikian, sekali lagi, apa itu hidup? Tidak pasti, itulah kenyataannya. Yang pasti, hanyalah ketidakpastian belaka. Yang tidak berubah, hanyalah perubahan saja. Tidak ada yang abadi, tujuan hidup hanya semu, hasil imajinasi yang tidak pernah dicapai. Dokter yang menolong orang sakit hingga sembuh, ternyata mengalami sakit pada dirinya sendiri. Konsultan keuangan, ternyata bukan penghasil uang. Penceramah keluarga, tak lolos dari masalah keluarga.
Singkatnya, apa yang dilakukan manusia ternyata tak bisa dimiliki atau dinikmati pada waktu yang sama. Tragisnya, yang menikmati justru orang di luar dirinya. Sementara yang menikmati, hanyalah menikmati tanpa pernah memiliki, sesaat dan tidak abadi, karena memang bukan miliknya. Ironis, jika hidup diamati dengan cermat dan serius, karena bagaikan dagelan yang tidak lucu, musik klasik yang tidak agung dan anggun. Ya, semuanya tertelan misteri makna. Pada akhirnya, hidup manusia hanyalah sebuah kejar-kejaran, tanpa pernah jelas, siapa yang mengejar, dan siapa yang dikejar. Hidup menjadi sebuah aktivitas yang tak pernah berakhir. Dan kejar-mengejar yang tidak jelas, itulah yang disebut kehidupan.read more....
Ditulis untuk Tabloid Reformata/www.reformata.com

0 comments:

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

 

Arsip Blog

Konsultasi Teologi

VIDEO

Entri Populer