Pdt. Bigman Sirait
Bapak Pengasuh yang baik,
Tak terasa kita sudah memasuki Natal di tahun ini. Dalam momentum ini, menjadi kesempatan untuk saya bertanya seputar Natal:
1. Apa yang seharusnya dilakukan umat Kristen di Natal tahun ini, dalam konteks hidup di Indonesia?
2. Masih relevankah perayaan Natal dilakukan di gedung gereja atau gedung-gedung pertemuan yang berfasilitas mewah dalam kemeriahan yang megah?
3. Apa yang seharusnyadibudayakan oleh umat Kristen dalam perayaan Natal kini dan tahun-tahun berikutnya?
Demikian pertanyaan saya, dengan penuh harapan mendapat pencerahan dari Bapak. Terimakasih atas responnya.
Erna di Carolus
Tak terasa kita sudah memasuki Natal di tahun ini. Dalam momentum ini, menjadi kesempatan untuk saya bertanya seputar Natal:
1. Apa yang seharusnya dilakukan umat Kristen di Natal tahun ini, dalam konteks hidup di Indonesia?
2. Masih relevankah perayaan Natal dilakukan di gedung gereja atau gedung-gedung pertemuan yang berfasilitas mewah dalam kemeriahan yang megah?
3. Apa yang seharusnyadibudayakan oleh umat Kristen dalam perayaan Natal kini dan tahun-tahun berikutnya?
Demikian pertanyaan saya, dengan penuh harapan mendapat pencerahan dari Bapak. Terimakasih atas responnya.
Erna di Carolus
Erna yang dikasihi Tuhan!
Pertanyaan seputar Natal memang terus bergulir seiring perjalanan Natal itu sendiri. Soal apa yang seharusnya dilakukan umat Kristen dalam Natal di konteks kehidupan Indonesia, ini sesungguhnya bukan hanya soal Natal saja. Ini perlu diluruskan, bahwa panggilan kita untuk hidup sebagai murid Kristus bukan hanya di waktu Natal saja, atau hari raya gerejawi lainnya. Sebagai orang percaya, kita harus senantiasa hidup sesuai kehendak Tuhan, dalam semangat kasih kepada Allah dan sesama (Matius 22:37-40).
Perintah Tuhan Yesus sangat jelas: Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri! Ini berlaku setiap saat, di semua tempat, bahkan kepada musuh sekalipun, tidak ada pengecualian. Jadi sangat jelas panggilan kita sebagai orang percaya. Natal atau hari raya gerejawi lainnya, adalah sebuah momentum perenungan bagi gereja akan karya ajaib Tuhan. Namun, tidaklah salah memakai momentum Natal untuk sebuah pelayanan khusus yang bersifat ekstra. Jangan lupa, sebagai orang percaya kita melayani setiap hari.
Apa yang pas dengan konteks Indonesia? Ini harus diperkecil menjadi konteks kota di mana kita ada dan melayani. Apa yang menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, harus menjadi konsentrasi kita. Tiap kota memilki situasi sendiri. Pelayanan itu akan menjadi tepat, jika sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan umat setempat. Di sini diperlukan kepekaan gereja, sehingga tidak asal dalam melayani, dan bisa jadi tidak tepat sasaran, karena tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Soal masih relevankah perayaan Natal bersifat mewah, menurut saya bukanlah sebuah pertanyaan. Bagaimanapun, dimanapun, kemewahan bukanlah warna gereja, apalagi jika dikaitkan dengan semangat Natal. Ingat Natal pertama, undangan utamanya justru para gembala, dan tempatnya dikesederhanaan yang amat sangat. Namun itu bukan berarti kita tidak boleh Natal di tempat yang lebih baik, karena konteks sosial juga bergerak. Jika ditanya masih relevankah perayaan Natal? Jelas ya (perenungan keimanan kita). Namun jika soal mewah, jelas tidak. Tapi ini juga harus hati-hati, kita bisa mengadakan perayaan Natal yang meriah tanpa harus super mewah. Sementara soal mewah, bisa jadi juga agak bias, karena sangat tergantung ukuran ekonomi yang bersifat relatif. Artinya, yang menjadi fokus bukan sekedar soal mewah atau tidaknya, tapi semangat Natalnya, untuk kita, atau kita berbagi untuk sesama. Natal yang sejati adalah memberi, bukan berpesta dan menikmati sendiri.
Apa yang harus dibudayakan umat Kristen dalam perayaan Natal? Menurut hemat saya sudah bergulir baik sejak dulu. Hanya saja dalam perjalannya mengalami banyak polusi. Sejak dulu, Natal menjadi ajang kepedulian sosial kepada sesama yang membutuhkan. Memperhatikan secara ekstra (ingat pelayanan setiap hari), orang sakit, kaum marjinal, mereka yang berada di balik jeruji besi, dan mereka yang terpinggirkan dalam kehidupan ini. Pakai momentum Natal untuk membahagiakan mereka. Budaya peduli dan berbagi harus menjadi warna kehidupan umat di setiap hari, bukan musiman, dan ekstra di waktu Natal, atau hari raya gerejawi lainnya. Momentum ini juga bisa dipakai untuk menyampaikan pesan Yesus Kristus bagi umat manusia, bahwa ada pengharapan bagi mereka yang percaya. Bahwa Dia, Yesus Kristus Tuhan berpihak pada mereka yang tersisihkan, dan kasih-Nya lebih dari cukup bagi mereka yang mau hidup didalam-Nya.
Jelaslah bagi kita sebagai orang percaya, bahwa Natal atau hari raya gerejawi lainnya dapat dimanfaatkan sebagai momentum pelayanan khusus, untuk bersilaturahmi dengan kelurga, jemaat, dan sesama. Memperbaiki relasi dengan sesama, dan menunjukkan kepedulian yang tinggi. Lebih dari itu, ini bisa jadi titik perhentian kita, untuk sejenak merenungkan ulang apakah kita masih hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah ini sangat indah?
Bahwa ada perayaan Natal yang berlebihan, atau bahkan sangat komersial, adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Namun itu bukan alasan untuk meniadakan perayaan Natal, atau menguranginya. Sebaliknya kita harus berusaha keras untuk meluruskan makna Natal yang sesungguhnya. Mengadakan Natal sesuai tujuannya, yakni Allah yang peduli pada manusia yang berdosa.
Akhirnya, selamat Natal Erna yang dikasihi Tuhan. Semoga ini menginspirasi kita untuk meluruskan pemaknaan natal yang sesungguhnya, sehingga setiap orang dapat merasakan kasih Natal yang agung dan mulia itu. Kasih yang membuat Yesus Kristus, Tuhan yang menjadi manusia.
Ah, indahnya Natal.
Pertanyaan seputar Natal memang terus bergulir seiring perjalanan Natal itu sendiri. Soal apa yang seharusnya dilakukan umat Kristen dalam Natal di konteks kehidupan Indonesia, ini sesungguhnya bukan hanya soal Natal saja. Ini perlu diluruskan, bahwa panggilan kita untuk hidup sebagai murid Kristus bukan hanya di waktu Natal saja, atau hari raya gerejawi lainnya. Sebagai orang percaya, kita harus senantiasa hidup sesuai kehendak Tuhan, dalam semangat kasih kepada Allah dan sesama (Matius 22:37-40).
Perintah Tuhan Yesus sangat jelas: Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri! Ini berlaku setiap saat, di semua tempat, bahkan kepada musuh sekalipun, tidak ada pengecualian. Jadi sangat jelas panggilan kita sebagai orang percaya. Natal atau hari raya gerejawi lainnya, adalah sebuah momentum perenungan bagi gereja akan karya ajaib Tuhan. Namun, tidaklah salah memakai momentum Natal untuk sebuah pelayanan khusus yang bersifat ekstra. Jangan lupa, sebagai orang percaya kita melayani setiap hari.
Apa yang pas dengan konteks Indonesia? Ini harus diperkecil menjadi konteks kota di mana kita ada dan melayani. Apa yang menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat setempat, harus menjadi konsentrasi kita. Tiap kota memilki situasi sendiri. Pelayanan itu akan menjadi tepat, jika sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan umat setempat. Di sini diperlukan kepekaan gereja, sehingga tidak asal dalam melayani, dan bisa jadi tidak tepat sasaran, karena tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Soal masih relevankah perayaan Natal bersifat mewah, menurut saya bukanlah sebuah pertanyaan. Bagaimanapun, dimanapun, kemewahan bukanlah warna gereja, apalagi jika dikaitkan dengan semangat Natal. Ingat Natal pertama, undangan utamanya justru para gembala, dan tempatnya dikesederhanaan yang amat sangat. Namun itu bukan berarti kita tidak boleh Natal di tempat yang lebih baik, karena konteks sosial juga bergerak. Jika ditanya masih relevankah perayaan Natal? Jelas ya (perenungan keimanan kita). Namun jika soal mewah, jelas tidak. Tapi ini juga harus hati-hati, kita bisa mengadakan perayaan Natal yang meriah tanpa harus super mewah. Sementara soal mewah, bisa jadi juga agak bias, karena sangat tergantung ukuran ekonomi yang bersifat relatif. Artinya, yang menjadi fokus bukan sekedar soal mewah atau tidaknya, tapi semangat Natalnya, untuk kita, atau kita berbagi untuk sesama. Natal yang sejati adalah memberi, bukan berpesta dan menikmati sendiri.
Apa yang harus dibudayakan umat Kristen dalam perayaan Natal? Menurut hemat saya sudah bergulir baik sejak dulu. Hanya saja dalam perjalannya mengalami banyak polusi. Sejak dulu, Natal menjadi ajang kepedulian sosial kepada sesama yang membutuhkan. Memperhatikan secara ekstra (ingat pelayanan setiap hari), orang sakit, kaum marjinal, mereka yang berada di balik jeruji besi, dan mereka yang terpinggirkan dalam kehidupan ini. Pakai momentum Natal untuk membahagiakan mereka. Budaya peduli dan berbagi harus menjadi warna kehidupan umat di setiap hari, bukan musiman, dan ekstra di waktu Natal, atau hari raya gerejawi lainnya. Momentum ini juga bisa dipakai untuk menyampaikan pesan Yesus Kristus bagi umat manusia, bahwa ada pengharapan bagi mereka yang percaya. Bahwa Dia, Yesus Kristus Tuhan berpihak pada mereka yang tersisihkan, dan kasih-Nya lebih dari cukup bagi mereka yang mau hidup didalam-Nya.
Jelaslah bagi kita sebagai orang percaya, bahwa Natal atau hari raya gerejawi lainnya dapat dimanfaatkan sebagai momentum pelayanan khusus, untuk bersilaturahmi dengan kelurga, jemaat, dan sesama. Memperbaiki relasi dengan sesama, dan menunjukkan kepedulian yang tinggi. Lebih dari itu, ini bisa jadi titik perhentian kita, untuk sejenak merenungkan ulang apakah kita masih hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Bukankah ini sangat indah?
Bahwa ada perayaan Natal yang berlebihan, atau bahkan sangat komersial, adalah fakta yang tidak bisa dibantah. Namun itu bukan alasan untuk meniadakan perayaan Natal, atau menguranginya. Sebaliknya kita harus berusaha keras untuk meluruskan makna Natal yang sesungguhnya. Mengadakan Natal sesuai tujuannya, yakni Allah yang peduli pada manusia yang berdosa.
Akhirnya, selamat Natal Erna yang dikasihi Tuhan. Semoga ini menginspirasi kita untuk meluruskan pemaknaan natal yang sesungguhnya, sehingga setiap orang dapat merasakan kasih Natal yang agung dan mulia itu. Kasih yang membuat Yesus Kristus, Tuhan yang menjadi manusia.
Ah, indahnya Natal.
0 comments:
Post a Comment