Pdt. Bigman Sirait
25 Desember, sejatinya adalah Natalis Sol Invictus, yaitu peringatan orang Roma yang kafir (sebelum mengenal Yesus Kristus). Waktu itu, matahari, yang dianggap tak terkalahkan, muncul dari kegelapan musim dingin, membuat siang menjadi lebih panjang. Menyambut itu, para penyembah dewa matahari melakukan acara khusus dengan penuh kegembiraan sebagai simbol kekuatan dan kemenangan sang dewa matahari. Sebuah perayaan yang cukup panjang sebelum menjadi menjadi acara Kristen. Barulah di abad ke 4, ketika Constantinus Agung menjadi Kristen, terjadi banyak perubahan.
Constantinus Agung, dalam pertempurannya, dikisahkan melihat Salib di gumpalan awan. Waktu itu 27 Oktober 312. Apa yang dilihatnya memang sangat personal, namun telah menjadi legenda. Dia menjadi seorang Kristen dan mengeluarkan maklumat toleransi (thn 313), yang berisikan kebebasan beragama. Kristen sebagai agama, mengalami masa kelegaan setelah sebelumnya terniaya oleh berbagai kaisar Roma. Di era inilah Constantinus Agung mengubah Natalis Sol Invictus yang dirayakan setiap 25 Desember menjadi hari Natal. Sementara hari Minggu, yang telah menjadi hari ibadah Kristen sejak gereja mula-mula, diresmikan menjadi hari istirahat, atau hari libur Negara. Ini sangat menolong umat Kristen dalam menjalankan ibadah. Constantinus Agung memindahkan ibu kota kekaisarannya ke kota Byzantium, yang kini dikenal sebagai kota Istambul, di Turki. Byzantium menjadi istilah yang mengacu kepada kekaisaran Roma yang Kristen. Ini untuk membedakannya dengan Roma yang belum Kristen.
Nah, kini Natalis atau Natal, yaitu hari peringatan kelahiran Yesus kristus bagi umat Kristen terus berjalan setiap tanggal 25 Desember. Gereja sejak masa itu memperingati hari raya gerejawi ini hingga saat ini. Mengapa gereja menerimanya dan terus menjalankannya? Satu fakta yang tak terbantah adalah, bahwa Yesus Kristus yang adalah Tuhan itu sendiri (Filipi 2:6-9), memang telah lahir kedalam dunia melalui Maria bunda kudus. Ini yang pertama. Yang kedua, adalah, bahwa yang tak terkalahkan jelas adalah Yesus Kristus, yang bahkan telah mengalahkan maut. Ini adalah fakta iman Kristen yang jelas jejaknya didalam Alkitab. Yang ketiga, terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus, sebagaimana kesaksian Alkitab. Fakta-fakta Alkitabiah ini cukup untuk menjadi alasan pembaharuan makna pada Natalis Invictus. Bahwa ada sikap kontra, mengingat, Yesus tidak lahir pada bulan Desember adalah betul. Namun harus dipahami, semangat Natal bukanlah memperingati tanggal kelahiran, melainkan Dia memang lahir didalam dunia. Ini jelas dua hal yang berbeda. Kerelaan Yesus Kristus Tuhan datang ke dalam dunia, dan menjadi sama dengan manusia, terlahir sebagai bayi, kerelaan inilah yang diperingati orang percaya. Jadi Natal bukan hari ulangtahun, jelas tidak.
Bagi yang kontra, sekali lagi betul, Yesus Kristus tak mungkin lahir pada bulan Desember. Karena injil Lukas dengan jelas mengisahkan tentang gembala yang ada dipadang Efrata, menggembalakan domba-dombanya. Dan mereka menjadi tamu utama, saksi kelahiran Yesus Kristus. Apakah mungkin ada gembala dipadang menggembalakan dombanya di musim dingin? Jelas tidak mungkin! Kalaupun mencari kemungkinan terdekat, maka itu sekitar Maret hingga Juni, musim semi hingga awal musim panas. Dan yang pasti, tidak ada data tanggal pasti. Tetapi sekali lagi, harus diingat, ini bukanlah peringatan hari ulang tahun, melainkan fakta, bahwa Dia pernah terlahir sebagai manusia biasa. Inilah Natal.
Memperingati Natal adalah memperingati kerelaan-NYA mengosongkan diri dan menjadi sama dengan manusia. DIA yang pada mulanya adalah Allah, dan berdiam bersama Allah, kini telah menjadi manusia, berinkarnasi, menjadi daging dan darah yang seutuhnya (Yohanes 1:1-3, 14). Kesadaran ini memang perlu ditumbuhkembangkan pada setiap umat Kristen, agar tak terjebak pada seremonial pesta akhir tahun, atau pesta hari ulang tahun, dengan semangat hura-hura. Natal tak boleh kehilangan penghayatannya, seperti kental terasa pada lagu malam Kudus. Sebuah perenungan yang serius dan mendalam. Bahwa gereja perlu merekonstruksi perayaan Natal, adalah hal yang harus. Karena harus diakui, bahwa kini perayaan Natal terasa hedonis, serba memuaskan emosi, dan kehilangan jiwanya. Namun itu tidak berarti Natal salah, sehingga mereka yang kontra berusaha keras melawannya. Karena yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa umat yang merayakanlah yang salah memaknainya. Bukan hari Natalnya yang salah. Ini perlu jelas. Bahwa yang kontra karena alasan teologis masih menanti sang Mesias, itu persoalan lain lagi. Bagi mereka yang beralasan teologis, jelas, bahwa Natal memang tidak ada, tanggal atau bulan apapun itu. Jadi perlu diluruskan dulu tentang sikap yang kontra, apakah alasan historis atau teologis. Dalam kesempatan ini penulis tak hendak menyentuh ranah teologis kelahiran Yesus Kristus yang memang terang benderang dicatat oleh keempat kitab injil, bahkan nubuat di PL.
Namun disisi lain, fakta ini menggugat agar orang percaya bukan saja menghargai warisan tradisi gerejawi tentang Natal, melainkan setia pada makna dan penghayatannya. Dari masa ke masa, Natal terus menerus mengalami modifikasi dalam suasananya, hingga mengancam kehilangan maknanya. Teknologi dan industri telah menjebak Natal menjadi komoditi, dan ironisnya, tak sedikit gereja mengamininya. Ini tampak jelas pada perayaan Natal yang megah, namun tak jelas pesan Natalnya. Dalam kebanyakan perayaan Natal, khotbah bisa jadi pelengkap penderita. Pusat perhatian terfokus pada acara dan teknologi yang digunakan. Disini performance menjadi utama, bukan lagi sikap hati. Pelayan yang diperlukan adalah mereka yang berkemampuan teknis, dan tak terlalu penting soal apakah mereka sudah lahir baru atau belum. Atau bahkan Kristen atau bukan. Ini sebuah kenyataan yang menjadi tantangan serius bagi gereja.
Natal, kini menjadi medan tarik menarik antara penghayatan dan hiburan, antara pesan dan teknologi, antara pelayanan dan performance. Semua serba dibenturkan, seakan tak ada kemampuan untuk melahirkan pelayan yang berkemampuan dan berhati melayani. Kualitas pelayan seringkali dikalahkan oleh kemampuan performance. Semoga gereja bisa lepas dari jebakan ini. Dan selamat mempersiapkan perayaan hari Natal. Atau anda sudah terjebak disana? Ah, kalau begitu, selamat merenungkan dulu.
Natal,
adalah hari raya gerejawi yang besar dan meriah, bahkan yang terbesar
dirayakan oleh umat Kristen berbanding hari raya gerejawi lainnya.
Sekalipun Alkitab tak mengisahkan perayaan Natal, namun nyatanya
kemegahan perayaannya tak pernah surut. Cobalah bandingkan dengan Jumat
Agung, hari peringatan kematian Yesus Kristus, yang jelas-jelas
diperintahkan Tuhan Yesus sendiri untuk diperingati (1 Korintus
11:24-26). Ternyata gema Jumat Agung, kalah besar dengan Natal. Padahal,
secara teologis jelas sekali kematian Kristus memiliki makna penebusan
dan titik balik kehidupan manusia. Kematian Yesus Kristus adalah
kehidupan manusia yang diperkenan-NYA. Makna dan perintah Tuhan Yesus
cukup jelas dan kuat untuk membuat umat Kristen menjadikan ini
peringatan utama. Apalagi peristiwa kematian, diikuti dengan peristiwa
kebangkitan Yesus Kristus, yang kita kenal sebagai Paskah. Mengapa Natal
bisa jadi perayaan gerejawi yang besar, sekaligus pro kontra
diseputarnya? Ini menarik untuk ditelusuri.
25 Desember, sejatinya adalah Natalis Sol Invictus, yaitu peringatan orang Roma yang kafir (sebelum mengenal Yesus Kristus). Waktu itu, matahari, yang dianggap tak terkalahkan, muncul dari kegelapan musim dingin, membuat siang menjadi lebih panjang. Menyambut itu, para penyembah dewa matahari melakukan acara khusus dengan penuh kegembiraan sebagai simbol kekuatan dan kemenangan sang dewa matahari. Sebuah perayaan yang cukup panjang sebelum menjadi menjadi acara Kristen. Barulah di abad ke 4, ketika Constantinus Agung menjadi Kristen, terjadi banyak perubahan.
Constantinus Agung, dalam pertempurannya, dikisahkan melihat Salib di gumpalan awan. Waktu itu 27 Oktober 312. Apa yang dilihatnya memang sangat personal, namun telah menjadi legenda. Dia menjadi seorang Kristen dan mengeluarkan maklumat toleransi (thn 313), yang berisikan kebebasan beragama. Kristen sebagai agama, mengalami masa kelegaan setelah sebelumnya terniaya oleh berbagai kaisar Roma. Di era inilah Constantinus Agung mengubah Natalis Sol Invictus yang dirayakan setiap 25 Desember menjadi hari Natal. Sementara hari Minggu, yang telah menjadi hari ibadah Kristen sejak gereja mula-mula, diresmikan menjadi hari istirahat, atau hari libur Negara. Ini sangat menolong umat Kristen dalam menjalankan ibadah. Constantinus Agung memindahkan ibu kota kekaisarannya ke kota Byzantium, yang kini dikenal sebagai kota Istambul, di Turki. Byzantium menjadi istilah yang mengacu kepada kekaisaran Roma yang Kristen. Ini untuk membedakannya dengan Roma yang belum Kristen.
Nah, kini Natalis atau Natal, yaitu hari peringatan kelahiran Yesus kristus bagi umat Kristen terus berjalan setiap tanggal 25 Desember. Gereja sejak masa itu memperingati hari raya gerejawi ini hingga saat ini. Mengapa gereja menerimanya dan terus menjalankannya? Satu fakta yang tak terbantah adalah, bahwa Yesus Kristus yang adalah Tuhan itu sendiri (Filipi 2:6-9), memang telah lahir kedalam dunia melalui Maria bunda kudus. Ini yang pertama. Yang kedua, adalah, bahwa yang tak terkalahkan jelas adalah Yesus Kristus, yang bahkan telah mengalahkan maut. Ini adalah fakta iman Kristen yang jelas jejaknya didalam Alkitab. Yang ketiga, terang yang sesungguhnya adalah Yesus Kristus, sebagaimana kesaksian Alkitab. Fakta-fakta Alkitabiah ini cukup untuk menjadi alasan pembaharuan makna pada Natalis Invictus. Bahwa ada sikap kontra, mengingat, Yesus tidak lahir pada bulan Desember adalah betul. Namun harus dipahami, semangat Natal bukanlah memperingati tanggal kelahiran, melainkan Dia memang lahir didalam dunia. Ini jelas dua hal yang berbeda. Kerelaan Yesus Kristus Tuhan datang ke dalam dunia, dan menjadi sama dengan manusia, terlahir sebagai bayi, kerelaan inilah yang diperingati orang percaya. Jadi Natal bukan hari ulangtahun, jelas tidak.
Bagi yang kontra, sekali lagi betul, Yesus Kristus tak mungkin lahir pada bulan Desember. Karena injil Lukas dengan jelas mengisahkan tentang gembala yang ada dipadang Efrata, menggembalakan domba-dombanya. Dan mereka menjadi tamu utama, saksi kelahiran Yesus Kristus. Apakah mungkin ada gembala dipadang menggembalakan dombanya di musim dingin? Jelas tidak mungkin! Kalaupun mencari kemungkinan terdekat, maka itu sekitar Maret hingga Juni, musim semi hingga awal musim panas. Dan yang pasti, tidak ada data tanggal pasti. Tetapi sekali lagi, harus diingat, ini bukanlah peringatan hari ulang tahun, melainkan fakta, bahwa Dia pernah terlahir sebagai manusia biasa. Inilah Natal.
Memperingati Natal adalah memperingati kerelaan-NYA mengosongkan diri dan menjadi sama dengan manusia. DIA yang pada mulanya adalah Allah, dan berdiam bersama Allah, kini telah menjadi manusia, berinkarnasi, menjadi daging dan darah yang seutuhnya (Yohanes 1:1-3, 14). Kesadaran ini memang perlu ditumbuhkembangkan pada setiap umat Kristen, agar tak terjebak pada seremonial pesta akhir tahun, atau pesta hari ulang tahun, dengan semangat hura-hura. Natal tak boleh kehilangan penghayatannya, seperti kental terasa pada lagu malam Kudus. Sebuah perenungan yang serius dan mendalam. Bahwa gereja perlu merekonstruksi perayaan Natal, adalah hal yang harus. Karena harus diakui, bahwa kini perayaan Natal terasa hedonis, serba memuaskan emosi, dan kehilangan jiwanya. Namun itu tidak berarti Natal salah, sehingga mereka yang kontra berusaha keras melawannya. Karena yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa umat yang merayakanlah yang salah memaknainya. Bukan hari Natalnya yang salah. Ini perlu jelas. Bahwa yang kontra karena alasan teologis masih menanti sang Mesias, itu persoalan lain lagi. Bagi mereka yang beralasan teologis, jelas, bahwa Natal memang tidak ada, tanggal atau bulan apapun itu. Jadi perlu diluruskan dulu tentang sikap yang kontra, apakah alasan historis atau teologis. Dalam kesempatan ini penulis tak hendak menyentuh ranah teologis kelahiran Yesus Kristus yang memang terang benderang dicatat oleh keempat kitab injil, bahkan nubuat di PL.
Namun disisi lain, fakta ini menggugat agar orang percaya bukan saja menghargai warisan tradisi gerejawi tentang Natal, melainkan setia pada makna dan penghayatannya. Dari masa ke masa, Natal terus menerus mengalami modifikasi dalam suasananya, hingga mengancam kehilangan maknanya. Teknologi dan industri telah menjebak Natal menjadi komoditi, dan ironisnya, tak sedikit gereja mengamininya. Ini tampak jelas pada perayaan Natal yang megah, namun tak jelas pesan Natalnya. Dalam kebanyakan perayaan Natal, khotbah bisa jadi pelengkap penderita. Pusat perhatian terfokus pada acara dan teknologi yang digunakan. Disini performance menjadi utama, bukan lagi sikap hati. Pelayan yang diperlukan adalah mereka yang berkemampuan teknis, dan tak terlalu penting soal apakah mereka sudah lahir baru atau belum. Atau bahkan Kristen atau bukan. Ini sebuah kenyataan yang menjadi tantangan serius bagi gereja.
Natal, kini menjadi medan tarik menarik antara penghayatan dan hiburan, antara pesan dan teknologi, antara pelayanan dan performance. Semua serba dibenturkan, seakan tak ada kemampuan untuk melahirkan pelayan yang berkemampuan dan berhati melayani. Kualitas pelayan seringkali dikalahkan oleh kemampuan performance. Semoga gereja bisa lepas dari jebakan ini. Dan selamat mempersiapkan perayaan hari Natal. Atau anda sudah terjebak disana? Ah, kalau begitu, selamat merenungkan dulu.
1 comments:
Semoga makna natal membawa kedamaian bagi kita semua.Tuhan Yesus memberkati Amin.
Post a Comment